welcome ;)

Selasa, 12 April 2011

Business income

Business income berusaha untuk mengoreksi kekurangan dari akuntansi tradisonal income yang muncul terkait dengan prinsip realisasi dan konsep konservatifnya serta persoalan yang mengemuka dikarenakan penggunaan biaya historis sebagai dasar penilaian. Model ini tidak berusaha untuk dibawa kepada akun nilai perubahan agen valuasi i.e uang, walaupun bisnis income ini dapat disesuaikan dengan pengakuan terhadap perubahan-perubahan ini.

Prinsip realisasi menyatakan bahwa revenue tidak dapat diakui sampai pertukaran tersebut secara substansial lengkap e.g barang yang diantar atau kewajiban pelanngan mulai berdampak Akuntansi income tidak mengakui keuntungan ditahan ini sampai terealisasi. Namun sebelum realisasi itu berdampak, nilai asset non moneter dapat berubah pada tingkatan yang berbeda pada tiap indeks harga. Oleh karena adanya keuntungan (kerugian) tidak direalisasi istilah cost saving oleh Edwards dan Bell terkait fakta jika harga sebuah asset naik atau turun selama periode tertentu, manajemen dengan membeli asset ini sebelumya telah terhindar dari biaya tambahan pembelian yang harus dibayarkan, jika asset tersebut harus dibeli pada periode sekarang. Bisnis income menjadikan current replacement cost sebagai dasar penilainya
Bell (1971) berpendapat bahwa dengan menggunakan current cost:
“….one can recognize is the accounts, all gains of the enterprise as they accrue , as well as when they were realized. Not counting gains when they arise has the unfortunate consequence that when such gains are in fact realized , the gains earned over the full span of time during which the assets were held are attributed entirely to the period in which the gains were realized” (p 20).
Prinsip realisasi menahan keuntungan ini menurutnya mempunyai dua implikasi:
(1) Periode akuntansi yang berbeda dengan peristiwa identik akan memberikan perbedaan bentuk keuntungan karena data tiap periode dipengaruhi oleh data masalalu, dan
(2) Tidak mungkin untuk menentukan kapan menahan aktifitas akan sukses atau sebaliknya, jika keuntungan hanya dilaporkan ketika sudah direalisasikan Lee (1985) telah menggambarkan income bisnis dengan persamaan berikut:
Yb= COP + RHG + UHG,
Dimana COP = current operating profit measured as revenue – replacement cost of sales and expenses;
RHG= realized holding gains accruing in the current period
UHG= unrealized holding gains representing the change in resource’s replacement cost prior to realization.
Business income dapat direkonsiliasikan dengan akuntansi income dengan persamaan berikut (diturunkan dari Lee 1985 )
Yb= Ya + UHG -RHG’ dimana
Yb dan UHG sebagaimana difinisi diatas, ya = accounting income
RHG’ = realized holding gains accruing in the past period dibawah bisnis income, hal ini harus diakui pada awal periode.
Business income tersebut baik pengukuran terhadap biaya penggantian, dan pengakuan periode income dalam bentuk realisai dan tidak. Hal ini mendikotomikan income kepada current operating profit dan menahan keuntungan pada periode yang sama, baik realisasi maupun tidak realisasi.
Dikotomi ini dikatakan untuk “memfasilitasi penilaian terahadap keputusan masalalu oleh manajemen dan formulasi keputusan masa mendatang i.e (a) keputusan operasional yang melibatkan proses serta penjulan barang berikutnya dan jasa serta (b) menahan keputusan yang melibatkan penahanan sumberdaya beberapa periode sebagai pra-realisasi perubahan nilai” (Lee 1985 ).
Bisnis income juga bisa dikatakan memiliki relevansi bagi investor dan pihak luar lainnya dimana mereka “Dapat berharap untuk mengevaluasi performa manajerial sehubungan dengan dampak keseluruhan dan secara teripisah dari dua kategori transaksi ini” (ibid p74). Keputusan operasional yang menghasilkan komponen income operasi pendapatan bisnis lebih terkontrol dalam manajemen dibanding dengan yang tidak seluruhnya dalam kontrol manajemen (menahan keuntungan). Hal ini mungkin dapat berguna bagi investor untuk mengevaluasi efektifitas manajemen dalam memabawa urusan perusahaan begitu pula untuk asesement manajemen.
Meskipun begitu, Prakash dan Sunder (1979) berpendapat menahan dan mengoprasionalkan keputusan itu tidak terpisah namun saling berjalinan. Jika kedua aktifitas tersebut independen, perlu dan cukup bahwa ‘menahan resiko’ asset dapat dipisahkan; i.e sangat mungkin bagi perusahaan untuk menahan asetnya tanpa harus terbebani dengan risiko perubahan harga tertentu. Pendapat yang mengatakan hal ini tidak mungkin bagi perusahaan manufaktur atau perusahaan perdagangan karena produksi tidak “ada batasan waktu” i.e produksi atau perubahan bentuk hanya bisa terjadi melalui interval waktu dan bukan merupakan “momen tanpa batasa waktu” oleh karena itu tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa semua keuntungan terkait dengan ruang waktu menjadi sebab menahan aktifitas. Lebih jauh, kedua perubahan tersebut dalam bentuk dan penahanan asset merupakan konsekuensi bersama dari keputusan satu produksi. Membuang dua atribut keputusan satu produksi akan menjadi tidak benar.
Maka mereka menyimpulkan, breakdown income yang sesuai bukanlah antara menhan keuntungan dan profit operasional tapi menahan komponen dan komponen operasional. Penahanan komponen income akan termasuk menahan keuntungan pada asset spekulatif (yang menahan resiko secara terpisah) dan pada asset operasional dengan resiko terpiasah melawan biaya asset spekulatif dan tabungan risko premium pada risiko terpisah dimana manajemen memilih, bukanya menukarnya kepada orang lain.
Kemudian penulis berpendapat bahwa biya dikotomi income harus tidak hanya memasukkan incremental cost dan laporan dikotomi (sesuai yang disarankan oleh Bell 1971), tapi juga kerugian yang dihubungkan dengan prilaku keputusan suboptimal yang dihasilkan dari penggunaan informasi yang terdikotomisasi begitu pula dengan dampak induksi manajemen
Setelah mendemonstrasikan dikotomi COP-HP dengan mendikotomikan income kedalam sebuah alternative (p17-19), penulis lebih lanjut menyimpulkan dengan menyatakan validitas diskriptif dan fisibilitas implementasi, sementara dibutuhkan, tidak lah cukup untuk merekomendasikan penggantian model income lain, tapi model-model tersebut dinilai berdasar kegunaannya dibanding dengan biayanya. Keuntungan lain dari income business dapat ringkas sebagaimana dibawah ini:
(1) Dengan memisahkan, menahan keuntungan dari income operasi, berkonsentrasi pada perawatan modal fisik daripada modal moneter.
(2) Bisnis income menyediakan informasi akuntansi yang lebih relevan dan berguna dengan pengakuannya terhadap current value dan
(3) Dapat dikatakan konsep ini dapat dijalankan dalam ruang waktu dan biaya sebagai pembanding terhadap biaya income historis (Dickerson 1965)
(4) Pengganti biaya income untuk mengukur dan memperkirakan income ekonomi, sejak biaya penggantian didasarkan pada arus income masa depan, “profit bisnis tidak terlalu buruk, sebuah perkiraan biaya tambahan kini pada present value penerimaan bersih (income ekonomi)…(Zeff 1962). Meskipun hal ini ditentang oleh Revsine (1970) yang berpendapat bahwa biaya penggantian tidak akan mendekati income ekonomi dalam kesempurnaan tapi lebih kepada pasar persaingan bebas yang lebih realistis karena harga merubah asset dan arus kas potensial masa mendatang yang dapat berlawanan arus e.g dimana pelaku pasar baru mula-mula menaikkan harga namun menekan pasar dalam jangka panjang dengan supplay produk yang berlebih.
Income terrealisasi
Income terrealisasi adalah ukuran periodik perubahan pada modal equity ketika hal ini diukur dalam exit value. Dapat dituliskan:
Yr = D+ Rt-Rt-1,
Dimana Yr = realizable income, Rt = ending capital valued on the exit price basis, Rt-1, =opening capital valued on the exit price basis, D = periodic distribution of income
Income teralisasi menggunakan exit price atau nilai realisasi bersih untuk menghargai asset dalam memperhitungkan income. Ada beberapa variasi mengenai hal ini. Harga pasar yang diusulkan pertama kali oleh MacNeal pada tahun 1939 dan pengembangan terakhir oleh Stirling (enterprise income) dan Chambers (Current Cash Equivalent/Continuously Contemporary Income). Lee (1985) mengisitilahkan ini dengan realizable income.
Exit price kini merepresentasikan jumlah kas bagi asset yang dapat dijual atau kewwajiban yang dapat dibiayai kembali (refinance). Hal ini merupakan harga bisnis yang akan direalisasikan jika asset dijual dalam kondisi dipesan daripada paksaan liquiditas dan harga jual pada waktu pengukuran daripada harga jual masa mendatang yang disesuaikan (Belkaoi 1992, p286).
Bersamaan dengan valuasi biaya penggantian, valuasi exit price berdasar income realisasi juga melengkapi prinsip realisasi pengakuan revenue. Keuntungan operasi diakui pada saat produksi dimana menahan keuntungan diakui pada waktu pembelian dan sesudahnya, ketika harga berubah daripada pada saat penjualan.
Argumen exit price adalah konsep ini mengukur konsep ekonomi biaya opportunity i.e niai kas muncul dari penjualan asset sebagai kebalikan penggunaan asset sekarang. Hal ini adalah ekspresi pengorbanan ekonomi dari sebuah entitas yang diekspresikan dengan kemampuan entitas tersebut untuk menjalankan alternative barang dan jasa. Nilai-nilai ini bisa dikatakan relevan bagi pembuatan keputusan menyangkut apakah perusahaan-perusahaan harus melanjutkan untuk menggunakan atau menjual asset dan menginvestasikannya pada hal lain i.e. baik perusaan terus berjalan atau tidak.
Exit price kini dikatakan juga menyediakan informasi yang relevan dan berguna bagi evaluasi adaptasi keuangan dan liquidditas perusahan. Semakin liquid perusahaan semakin bisa beradaptasi pula perusahaan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Chambars (1966) mengkritik biaya historis sebagai “ Hanya sebuah masalah sederhana sejarah” dan hanya harga sekarang mempunyai hubungan dengan pilhan suatu tindakan. Ia berpendapat bahwa “tidak ada kesimpulan yang berguna yang dapat ditarik dari praktek masalalu yang mempunyai hubungan terhadap kapasitas sekarang untuk diperasionalkan dalam pasar” dan meniadakan biaya penggantian karena hal tersebut tidak merepresentasikan kapasitas untuk bekerja dipasar dengan kas untuk tujuan adaptasi dengan kondisi yang sekarang terjadi. Ia oleh karena itu mengajukan harga realisasi atau harga pasar sebagai “salah satu property financial yang secara seragam relevan dengan aksi pasar dimasa mendatang” (ibid p 91-2). Lebih jauh Stirlling (1968) mengemukakan exit value mengabaikan entitas yang invalid dan tidak penting sebagai going concern dengan kehidupan tanpa batas yang merupakan dasar model biaya pengganti. Faktanya model income realisasi mengasumsikan bahwa sebuah entitas akan mempunyai kehidupan tanpa batas dalam bentuk keberadaannya.
Chamber (1962) juga berpendapat bahwa exit price kini menyediakan panduan yang lebih baik untuk evaluasi manajer dalam menjalankan fungsinya karena ia membentuk dasar kepuasan untuk menentukan penggunaan dan disposisi asset, yang dianggap sebagai dasar, dimana performance perusahaan dinilai.
Cahmbers (1971) juga mengetengahkan bukti bahwa meskipun dalam praktek akuntansi, penggunaan nilai realisasi itu di praktekkan e.g dalam penilaian persediaan, prasyaratan pengungkapan hukum UK bagi revaluasi tanah dan harga pasar investasi. Demikianlah ia berpendapat bahwa model income realisasi adalah ekstensi logis dari praktek ini.
Terakhir McKeown (1971) telah menunjukkan dalam studi kasusunya ‘perusahaan elektronik’ bahwa exit price dapat dijalankan untuk implementasi biaya dan tujuan (manipulasi risiko) serta estimasi akurat exit value. Exit price bisa lebih dimengerti dibanding dengan biaya penggantian sebagai nilai realisasi yang mudah untuk diinterpertasikan sebagai nilai pasar.
Dilain pihak, Ijiri (1971) mengkritik biaya kini karena non-bahan tambahannya. Harga bisnis sebagai keseluruhan bukanlah penjumlahan contituen asset. Jika realisasi diprhitungkan maka nilai realisasi entitas seluruhnya (bersama dengan goodwill dan asset intangible lain yang tidak memilki nilai pemisah) lebih penting untuk diperhitungkan dibanding dengan komponen assetnya.
Bell (1971) berpendapat bahwa exit value tidak usah diperhitungkan karena tidak memberikan informasi relevan untuk mengevaluasi performance melawan ekspektasi i.e melawan rencana operasional dan keputusan yang dibuat oleh manajemen. Rencana dan orang yang mengembangkan perencanaan harus di evaluasi pertama sebelum alternative masa mendatang (i.e opportunity cost) diperhitungkan. Semenjak biaya persediaan penjualan secara terus menerus disesuaikan dengan nilai realisasi, model gross profit-nya Profesor Chamber akan menjadi nol, dengan demikian hal tersebut tidak menunjukkan pekerjaan yang bagus dalam menenjukkan bagaimana perusahan bergerak dari status ekonominya dari awal sampai akhir tahun.
Profesor Chamber “Current cash equivalent mengasumsikan bahwa sebuah perancanaan bisnis akan selalu menjadi satu memaksimalkan kas asset yang didapat dalam periode jangka pendek, seperti kedaaan perusahaan, tujuan dan cara pembelajarannya nampak tidak dapat dipraktekkan” menurut Bell (1971) bisnis yang sehat bisanya going concern dan tetap pada bisnis untuk waktu tertentu dan tidak secara terus menerus menaksir kembali pilihannya untuk keluar dari bisnsis, kita dapat sebut asumsi professor Chambe sebagai “the fallacy of timeless business exits” ketika bisnis berkomitmen pada usaha tertentu, ia akan memakan waktu sebelum rencana dan operasi tersebut membuahkan hasil. Tidak dapat berfikir terus-menerus untuk keluar padahal baru saja masuk.



http://zonaekis.com/business-income#more-61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar